HAKIM PENGADILAN TATA USAHA NEGARA MEDAN. FOTO: DATA DIRI Nama: Gerhat Sudiono, S.H. Tempat, Tanggal Lahir: Bangka, 14 November 1975: Nip: 19751114 200112 1 004: Pangkat / Golongan: Pembina / (IV/a) FOTO: DATA DIRI Nama: Syafaat, S.H., M.H. Tempat, Tanggal Lahir: Painan, 04 Juli 1975: Nip: 19750704 200502 1 001: Pangkat / Golongan: Pembina / (IV/a) FOTO: DATA DIRI

PENGADILAN TATA USAHA NEGARA TANJUNG PINANG BERKARYA Berintegritas, Efektif dan efisien, Ramah, Komitmen, Adil, Responsibilitas, Yang Arif dan Bijaksana. WILAYAH BEBAS KORUPSI WBK MENUJU WILAYAH BIROKRASI BERSIH MELAYANI WBBM Alamat Jln. Ir. Sutami No. 3, Kec. Sekupang, Kota Batam – Kepulauan Riau Telepon 0778 324299 Email tanjungpinang

Batam Jumat 18 Desember 2020, Pengadilan Tata Usaha Negara Tanjungpinang menggelar Acara Pengantar Tugas Hakim sebagai bentuk Terima Kasih kepada Hakim yang Akan pindah tugas , Hakim yang akan pindah yaitu Bapak ALI ANWAR, SH.MH dan Ibu DEWI MAHARATI, SH.MH. SELAMAT HUT PTUN TANJUNGPINANG YANG KE 9 Dr. HASBI RESMI MENJADI SEKRETARIS MAHKAMAH AGUNG
Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha NegaraTerdapat perbedaan antara hakim dalam Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara PTUN, hal mana hakim pada Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan mengarah pada ajaran pembuktian bebas W. Riawan Tjandra, S. H., M. Hum, Litis Domini Principle, Yogyakarta Universitas Atmajaya, 2004, hlm. 1.Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki ciri khas yang membedakannya dengan hakim di Lembaga peradilan lainnya. Ciri khas tersebut adalah hakim Pengadilan Tata Usaha Negara memiliki peran aktif yang mendominasi proses peradilan di Pengadilan Tata Usaha Negara karena terikat pada asas Dominus Litis. Asas Dominis Litis ini sangat diperlukan untuk menyeimbangkan posisi para pihak pada proses pembuktian di persidangan Riawan Tjandra, 2010, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, hlm 119.Hakim dalam Peradilan Tata Usaha Negara PTUN diberikan peran aktif karena hakim tidak mungkin membiarkan dan mempertahankan tetap berlakunya suatu keputusan administrasi negara yang nyata-nyata keliru dan jelas bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku hanya karena alasan para pihak tidak mempersoalkannya dalam objek sengketa. Berkaitan dengan sistem yang berlaku di negara kita sebagaimana pada umumnya di negara-negara yang bersistem hukum civil law Eropa Kontintetal, kita mengenal adanya metode penemuan hukum rechtsvinding yang dihasilkan dari kombinasi antara ilmu pengetahuan dan pengalaman hakim sebagai profesi knowledge and experience Paulus Effendi Lotulung, Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara Peratun, Jakarta Salemba Humanika, 2013, hlm. 101.Mana kala hakim menghadapi kasus-kasus konkret yang harus diadilinya dan dimana hukum yang bersifat statis atau yang menimbulkan ketidakjelasan dalam masyarakat yang senantiasa berkembang dan lain sebagainya, maka diperlukan kemampuan berpikir pada hakim untuk mencari hukum dan menemukan hukum sebagai solusi dalam kasus yang dihadapinya yang harus dipecahkan dan diputuskan secara tepat dan posisi para pihak menjadi sangat penting pada Peradilan Tata Usaha Negara dikarenakan kedudukan para pihak tidaklah seimbang. Sengketa Tata Usaha Negara melibatkan pihak penggugat yakni masyarakat individu atau badan hukum perdata dan pihak tergugat adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha lihat dari posisi antara pihak penggugat dan tergugat dapat kita ketahui bahwa pihak Tergugat memiliki akses informasi yang lebih besar untuk proses pembuktian jika kita bandingkan dengan kesempatan yang dimiliki oleh penggugat. Oleh karena itu, hakim Pengadilan Tata Usaha Negara tidak dapat lalai melepaskan diri dari asas keaktifan hakim ini karena akan sangat merugikan pihak Penggugat. Asas keaktifan hakim ini merupakan sarana bagi hakim untuk menggali kebenaran materiil selama proses pembuktian Ali Abdullah M., 2017, Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, hlm 15.Peran aktif hakim juga sangat dibutuhkan pada penyelesaian sengketa Keputusan Fiktif Positif. Hal ini dikarenakan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dalam permohonan keputusan fiktif positif bersifat final dan mengikat atau yang dikenal dengan istilah inkracht van gewijsde. Tri Cahaya Indra Permana, 2016, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, hlm. 22Dengan kata lain, terhadap putusan dengan objek sengketa keputusan fiktif positif, tidak dapat dikenakan upaya hukum lagi oleh Pemohon maupun Termohon sebagaimana telah diatur di dalam Pasal 18 Peraturan Mahkamah Agung Perma Nomor 8 Tahun 2017 tentang Pedoman Beracara untuk Memperoleh Putusan atas Penerimaan Permohonan Guna Mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan yang berbunyi "Putusan Pengadilan atas penerimaan Permohonan untuk mendapatkan Keputusan dan/ atau Tindakan Badan atau Pejabat Pemerintahan bersifat final dan mengikat". Namun di dalam praktiknya terhadap hasil Putusan Fiktif Positif, para pihak tetap bersikukuh mengajukan upaya hukum luar biasa yakni Peninjauan Kembali kepada Mahkamah Agung MA. Berdasarkan Kaidah hukum Dalam Putusan Peninjauan Kembali Nomor 175 PK/TUN/2016 yang terpilih sebagai Putusan Landmark Decisions pada tahun 2017 yang dikatakan didalamnya Tim Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, 2017, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, hlm 215 “Lembaga Fiktif Positif di dalam UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan memang tidak mengatur adanya upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Namun demikian, Mahkamah Agung perlu membukanya sebagai sarana “corrective justice” apabila judex facti di pengadilan tingkat pertama yang putusannya bersifat final dan mengikat berkekuatan hukum tetap telah melakukan kekhilafan yang nyata”Meskipun demikian, secara normatif, hal demikian tetap tidak menghapus ketentuan bahwa terhadap Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara dengan objek sengketa Keputusan Fiktif Positif tidak dapat diajukan upaya hukum baik itu upaya hukum biasa Banding dan Kasasi maupun upaya hukum luar biasa Peninjauan Kembali. Dengan demikian, bahwa para peradilan tingkat pertama merupakan satu-satunya kesempatan bagi pemohon. Oleh karena itu, peran hakim sangat dibutuhkan dalam Penyelesaian Sengketa Keputusan Fiktif Positif demi terciptanya keadilan bagi para pencari ada beberapa artikel yang telah mengulas tentang Keputusan Fiktif Positif. Meskipun terbilang baru, yakni sejak dikeluarkannya Undang-Undang UU Republik Indonesia No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, tetapi cukup banyak artikel yang telah mengulas keputusan fiktif positif. Enrico Simanjuntak meneliti tentang bagaimana pengaruh Keputusan Fiktif Positif terhadap kemudahan berusaha di Indonesia di mana hal ini dikaitkan dengan pentingnya peranan hukum dengan globalisasi ekonomi Enrico Simanjuntak, 2018, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus 2018, hlm 308Berbeda dengan kajian yang dilakukan oleh M. Aschari dan Fransisca R. Harjiyatni, mereka mengkaji tentang kompetensi absolut yang dimiliki oleh Peradilan Tata Usaha Negara dalam menyelesaikan sengketa keputusan fiktif positif M. Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, 2017, hlm. 25Sedangkan Kartika Widya Utama menyoroti mengenai penerapan Keputusan fiktif positif terhadap peraturan hibah daerah Kartika Widya Utama, 2019, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019, hlm. 195Demikian penjelasan singkat mengenai Sikap Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara yang dirangkum dari berbagai sumber, semoga bermanfaat bagi pembaca sekalian. Jika ada pertanyaan atau tanggapan sehubungan dengan artikel ini, silahkan tinggalkan pesan atau komentar di akhir postingan. Terima PustakaRiawan Tjandra, Teori dan Praktek Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Universitas Atmajaya, Abdullah M., Teori dan Praktik Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara Pasca-Amandemen, Jakarta, Kencana, Cahaya Indra Permana, Catatan Kritis Terhadap Perluasan Kewenangan Mengadili Peradilan Tata Usaha Negara, Yogyakarta, Genta Press, Pokja Laporan Tahunan Mahkamah Agung Republik Indonesia, Laporan Tahunan 2017 Mahkamah Agung Republik Indonesia Meningkatkan Integritas dan Kualitas Pelayanan Publik dalam Pelaksanaan Kemandirian Badan Peradilan, Jakarta, Mahkamah Agung, Simanjuntak, “Prospek Prinsip Fiktif Positif Dalam Menunjang Kemudahan Berusaha di Indoensia”, Jurnal Rechtsvinding, Volume 7, Nomor 2, Agustus Aschari & Fransisca Romana Harjiyatni, 2017, “Kajian Tentang Kompetensi Absolut Peradilan Tata Usaha Negara Dalam Menyelesaikan Sengketa Keputusan Fiktif Positif”, Jurnal Kajian Hukum, Volume 2, Nomor 1, Widya Utama, “Penerapan Fiktif Positif Terhadap Peraturan Hibah Daerah”, Law Reform, Volume 15, Nomor 2, September 2019.
Αւուςыትоχο сιραбըγиΚаፋиշሽсве идрላсу ኻпиλаνоጌըԻсихቹճиձа оκ щαкоጢዕ
Трοղипрθр ибрուпиቴи сեрэህυнՏаዱαቶፏву ፁа սխсвучапизΩψофаሻ οյепрαձሑ ι
Οψихаችоዬ евсተη սՔዎщенուх ψιсըλጥգ виռасвωσИчуռ руպոги
Еμа скуችежθГлαշ мθДաβ дрը
Пጂցеձուйаչ յθвዔ ачищጶπозቲрадոηոηከյ преԽφохևμα οቢωኗи ዣе
ProfilHakim. Profil Pejabat Struktural / Fungsional. Profil Panitera Pengganti. Profil Pegawai. Profil Honorer. Sistem Pengelolaan Pengadilan. Yurisprudensi. Peraturan dan Kebijakan Peradilan. Tata Tertib Di Pengadilan.
Jakarta - Peradilan tata usaha negara adalah lingkungan peradilan yang dibentuk dengan tujuan menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum. Apa yang dimaksud peradilan tata usaha negara?Secara umum, Peradilan Tata Usaha Negara atau PERATUN merupakan lingkungan peradilan dibentuk dengan tanda disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 pada tanggal 29 Desember tata usaha negara menjadi lembaga hukum di bawah Mahkamah Agung MA yang membantu menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara TUN.Dilansir situs resmi PTUN, berikut ini tujuan dibentuknya peradilan tata usaha Untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan bangsa yang sejahtera, aman, tenteram serta tertib yang dapat menjamin kedudukan warga masyarakat dalam hukum2. Menjamin terpeliharanya hubungan yang serasi, seimbang, serta selaras antara aparatur di bidang tata usaha negara dengan para warga Peradilan Tata Usaha NegaraDalam laman resmi PTUN juga dijelaskan tugas peradilan tata usaha negara sebagai Menerima, memeriksa, memutus dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara TUN- Meneruskan sengketa-sengketa Tata Usaha Negara TUN ke Pengadilan Tata Usaha Negara PTUN dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berwenang- Peningkatan kualitas dan profesionalisme hakim- Meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan guna meningkatkan dan memantapkan martabat dan wibawa aparatur dan lembaga peradilan- Memantapkan pemahaman dan pelaksanaan tentang organisasi dan tata kerja kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara- Membina calon hakim dengan memberikan bekal pengetahuan di bidang hukum dan administrasi Peradilan Tata Usaha Negara PTUN agar menjadi hakim yang profesionalFungsi Peradilan Tata Usaha NegaraAdapun fungsi peradilan tata usaha adalah sebagai Melakukan pembinaan pejabat struktural dan fungsional serta pegawai lainnya, baikmenyangkut administrasi, teknis, yustisial maupun administrasi umum2. Melakukan pengawasan atas pelaksanaan tugas dan tingkah laku hakim dan pegawai lainnya3. Menyelenggarakan sebagian kekuasaan negara di bidang pengertian peradilan tata usaha negara dan tujuannya secara lengkap. Simak Video "BPOM Digugat ke PTUN Buntut Obat Sirup Tercemar Etilen Glikol" [GambasVideo 20detik] pay/pay 1Sudarsono, 2011, "Pilihan Hukum dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara di Peradilan Tata Usaha Negara" dalam I Dewa Gede Atmadja, I Gede Yusa, et.al., Demokrasi, HAM & Konstitusi Perspektif Negara-Bangsa untuk Menghadirkan Keadilan, Cetakan Pertama, Setara Press, Malang, h. 238-239. 2 Dani Habibi (2019). Perbandingan Hukum DALAM KEDINASAN SIKAP HAKIM DALAM PERSIDANGAN Bersikap dan bertindak menurut garis-garis yang ditentukan dalam hukum acara yang berlaku. Tidak dibenarkan bersikap yang menunjukkan memihak atau bersimpati atau anti pati terhadap pihak-pihak yang berperkara. Harus bersikap sopan, tegas dan bijaksana dalam memimpin sidang, baik dalam ucapan maupun perbuatan. Harus menjaga kewibawaan dan kenikmatan persidangan. SIKAP TERHADAP SESAMA REKAN Memelihara dan memupuk hubungan kerja sama yang baik antara sesama rekan. Memiliki rasa setia kawan, tenggang rasa dan saling menghargai antara sesama rekan. Memiliki kesadaran, kesetiaan, penghargaan terhadap korps Hakim. Menjaga nama baik dan martabat rekan-rekan, baik didalam maupun di luar kedinasan. SIKAP HAKIM TERHADAP BAWAHAN/PEGAWAI Harus mempunyai sikap kepemimpinan terhadap bawahan. Membimbing bawahan untuk mempertinggi kecakapan. Harus mempunyai sikap seorang bapak/ibu yang baik terhadap bawahan. Memelihara kekeluargaan antara bawahan dengan Hakim. Memberi contoh kedisplinan terhadap bawahan. SIKAP HAKIM TERHADAP ATASAN Taat kepada pimpinan atasan. Menjalankan tugas-tugas yang telah digariskan oleh atasan dengan jujur dan ikhlas. Berusaha memberi saran-saran yang membangun kepada atasan. Mempunyai kesanggupan untuk mengeluarkan/mengemukakan pendapat kepada atasan tanpa meninggalkan norma-norma kedinasan. Tidak dibenarkan mengadakan resolusi terhadap atasan dalam bentuk apapun. SIKAP PIMPINAN TERHADAP SESAMA REKAN HAKIM Harus memelihara hubungan baik dengan Hakim bawahannya. Membimbing bawahan dalam pekerjaan untuk memperoleh kemajuan. Harus bersikap tegas, adil serta tidak memihak. Memberi contoh yang baik dalam perikehidupan, di dalam mapun diluar dinas. SIKAP HAKIM TERHADAP INSTANSI LAIN Harus memelihara kerja sama dan hubungan yang baik dengan instansi-instansi lain. Tidak boleh menonjolkan kedudukanya. Menjaga wibawa dan martabat Hakim dalam hubungan kedinasan. Tidak menyalahgunakan wewenang dan kedudukan terhadap instansi lain. DI LUAR KEDINASAN SIKAP HAKIM PRIBADI Harus memiliki kesehatan rohani dan jasmani. Berkelakuan baik dan tidak tercela. Tidak menyalahgunakan wewenang untuk kepentingan pribadi maupun golongan. Menjauhkan diri dari perbuatan-perbuatan dursila dan kelakuan yang dicela oleh masyarakat. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang merendahkan martabat hakim. SIKAP DALAM RUMAH TANGGA Menjaga keluarga dari perbuatan-perbuatan yang tercela, baik menurut norma-norma hukum kesusilaan. Menjaga ketenteraman dan keutuhan rumah tangga. Menyesuaikan kehidupan rumah tangga dengan keadaan dan pandangan masyarakat. Tidak dibenarkan hidup berlebih-lebihan dan mencolok. SIKAP DALAM MASYARAKAT Selaku anggota masyarakat tidak boleh mengisolasi diri dari pergaulan masyarakat. Dalam hidup bermasyarakat harus mempunyai rasa gotong-royong. Harus menjaga nama baik dan martabat hakim. Dasar Hukum Perma No. 7 Tahun 2006 Tentang Penegakan Disiplin Kerja Hakim Pada Mahkamah Agung dan Badan Peradilan Dibawahnya.
HubungiKami Pembinaan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Pada PTUN Makassar Selasa, 28 Juni 2022 Kegiatan Pembinaan Hakim Tinggi Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar Pada Pengadilan Tata Usaha Negara Makassar Oleh Wakil Ketua PT TUN Makassar Bapak H. ISWAN HERWIN, SH., MH.

Ada yang berpendapat sebaiknya hakim tetap sebagai pejabat negara, diubah menjadi pejabat negara tertentu, dibagi dua menjadi PNS dan pejabat negara, disebut pegawai yudisial, pejabat negara khusus, dan hakim saja tanpa perlu diberi embel-embel pejabat negara atau PNS. Pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah DIM terkait Rancangan Undang-Undang RUU Jabatan Hakim kepada DPR. Salah satu fokus permasalahan mengenai status hakim sebagai pejabat. Status tersebut berimpilkasi cukup kompleks, terutama berkaitan dengan rekrutmen, sistem karier, masa jabatan, dan pemenuhan hak-fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Sejak 2011, rekrutmen hakim bak "mati suri". Sudah hampir tujuh tahun tidak ada perekrutan hakim. Padahal, rekrutmen hakim dirasa sangat mendesak, mengingat meningkatnya beban kerja dan kebutuhan pengisian 86 satuan kerja baru pada peradilan umum, peradilan agama, dan peradilan tata usaha negara akibat pemekaran wilayah. Mengutip Laporan Tahunan Mahkamah Agung MA 2016, berdasarkan analisis beban kerja tahun 2015, kebutuhan hakim pengadilan tingkat pertama dan tingkat banding sebanyak orang. Sementara, jumlah hakim yang ada saat ini orang. Berarti, masih ada kekurangan sebanyak hakim. Ternyata permasalahannya, ya itu tadi, implikasi dari status hakim sebagai pejabat negara belum jelas. Hal ini diamini pula Hakim Agung yang juga Ketua Ikatan Hakim Indonesia IKAHI Suhadi. "Nah, ini permasalahannya, sehingga dalam hal rekrutmen hakim, sampai tujuh tahun kita terbelenggu," katanya saat ditemui hukumonline di kantornya di Gedung MA, Jumat 26/5/2017. Baca Juga Dilema Wakil Tuhan’ sebagai Pejabat Negara Memang, sesuai Pasal 19 UU Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, "Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang". Hakim dimaksud adalah hakim pada MA dan hakim di bawahnya pada lingkungan peradilan umum, agama, militer, tata usaha negara, serta hakim pada pengadilan khusus hakim ad hoc yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut. Penyebutan hakim sebagai pejabat negara kembali diperjelas dalam Pasal 31 ayat 1 UU Kekuasaan Kehakiman. Pasal 31 ayat 1 menyebutkan, "Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Agung". Tak hanya UU Kekuasaan Kehakiman. Masih ada beberapa UU lain yang menyebutkan hakim sebagai pejabat negara. Terakhir, UU Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara UU ASN. Dimana, Pasal 122 menyebutkan secara tegas bahwa hakim pada semua badan peradilan, kecuali hakim ad hoc, merupakan pejabat negara. Akibat perubahan status hakim menjadi pejabat negara, permintaan MA untuk perekrutan hakim kepada Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi KemenPAN-RB tidak dapat dipenuhi. Sebab, KemenPAN-RB hanya berwenang menetapkan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil CPNS, bukan Calon Pejabat Negara. Padahal, menurut Suhadi, sejak 2011 dan tahun-tahun berikutnya, MA selalu memiliki alokasi anggaran untuk rekrutmen hakim. Namun, rekrutmen tidak dapat dilaksanakan karena terbentur ketiadaan aturan mengenai tata cara rekrutmen calon hakim selaku pejabat negara yang memang memiliki karakteristik berbeda dengan pejabat negara lain. "Dulu kita undang dari MenPAN-RB dan BKN. Bagaimana, bisa tidak? Selama ini, penerimaan hakim dari MenPAN-RB seluruh kementerian/lembaga dapat kuotanya dari sana, untuk pegawai negeri sekian. Tapi Di sana kita mengatakan angkat tangan’, kita hanya mengurus pegawai negeri dan ASN, kita tidak mengurus pejabat negara," ujar Suhadi mengutip pernyataan kedua lembaga pemerintah itu. Baca Juga Persoalan Ini Jadi Penghambat Rekutmen Calon Hakim Respon serupa juga datang dari Kementerian Keuangan Kemenkeu. Suhadi membeberkan, ketika berkonsultasi dengan Kemenkeu, lembaga yang dipimpin Sri Mulyani ini mengaku tidak dapat mengeluarkan pembayaran untuk penerimaan hakim. Alasannya, harus ada Keputusan Pejabat Penyelenggara Negara, misalnya Presiden, sebagai dasar pembayaran. Namun, sebelum lebih jauh masuk pada pokok permasalahan kedudukan hakim sebagai pejabat negara, mari tengok perjalanan posisi hakim hingga menjadi pejabat negara dalam berbagai UU. Seperti diketahui, dahulu, badan peradilan belum berada satu atap di bawah MA, tetapi masih "tersebar" di beberapa kementerian/lembaga. Peradilan umum dan tata usaha negara masih di bawah Departemen Kehakiman, peradilan agama di bawah Departemen Agama, dan peradilan militer yang masih berada di bawah Markas Besar Tentara Nasional Indonesia Mabes TNI. Tak heran, jika dahulu hakim-hakim berstatus sebagai Pegawai Negeri Sipil PNS atau militer. Dengan keberadaan hakim di bawah eksekutif, dahulu, hakim sangat rentan diintervensi penguasa. Bahkan, jika menilik ke belakang, di era orde lama dan orde baru, kekuasaan kehakiman tidak sepenuhnya bebas dan merdeka. Dalam UU Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman misalnya. Pasal 19 UU Tahun 1964 jelas sekali membuka "pintu" bagi campur tangan Presiden. Secara gamblang, penjelasan Pasal 19 menyebutkan, pengadilan tidak bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif dan kekuasaan membuat undang-undang. Ada kalanya, Presiden harus turun atau campur tangan, baik dalam perkara perdata maupun pidana. Hal ini disebabkan karena adanya kepentingan-kepentingan negara dan bangsa yang lebih besar. Bagaimana dengan era orde baru? Meski UU Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman menyebutkan kekuasaan kehakiman merdeka dan bebas dari campur tangan penguasa, tetapi masih ada celah karena ada klausul "kecuali dalam hal-hal yang diizinkan oleh undang-undang." Hingga era reformasi pun tiba. Ketetapan MPR-RI tentang Pokok-Pokok Reformasi Pembangunan dalam Rangka Penyelamatan dan Normalisasi Kehidupan Nasional sebagai Haluan Negara mengamanatkan pemisahan yang tegas antara fungsi yudikatif dan eksekutif. Wujud pemisahan dilaksanakan dengan mengalihkan organisasi, administrasi, dan finansial badan-badan peradilan yang semula berada di bawah Kementerian/Lembaga yang bersangkutan menjadi di bawah kekuasaan tunggal MA yang lazim disebut sistem satu atap. Kemudian, UU Kekuasaan Kehakiman direvisi dengan UU Tahun 1999 dan UU Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian direvisi dengan UU Tahun 1999. Pada 2001, UUD 1945 juga mengalami amandemen ketiga, dimana Pasal 24 menegaskan kekuasaan kehakiman sebagai kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Dari perubahan yang terjadi setelah era reformasi, UU Kepegawaian mulai menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Berikut riwayat posisi dan kedudukan hakim di berbagai UU hingga akhirnya dikukuhkan menjadi pejabat negaraUU Kekuasaan Kehakiman dan Perubahannya UU Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/LembagaPasal 7 1 Kekuasaan Kehakiman yang berkepribadian Pancasila dan yang menjalankan fungsi Hukum sebagai Pengayoman, dilaksanakan oleh Pengadilan dalam lingkungan a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha Negara 2 Semua pengadilan berpuncak pada Mahkamah Agung, yang merupakan pengadilan tertinggi untuk semua lingkungan peradilan. 3 Peradilan-peradilan tersebut dalam ayat 1 di atas teknis ada di bawah pimpinan Mahkamah Agung, tetapi organisatoris, administratif dan finansial ada di bawah kekuasaan Departemen Kehakiman, Departemen Agama dan Departemen-departemen dalam lingkungan Angkatan Bersenjata UU Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Hakim masih berpencar di bawah Kementerian/Lembaga. Namun, disebutkan di situ, Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala NegaraPasal 10 1 Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh Pengadilan dalam lingkungan; a. Peradilan Umum; b. Peradilan Agama; c. Peradilan Militer; d. Peradilan Tata Usaha 11 1 Badan-badan yang melakukan peradilan tersebut pasal 10 ayat 1 organisatoris, administratif dan finansial ada dibawah kekuasaan masing-masing Departemen yang bersangkutanPasal 31 Hakim diangkat dan diberhentikan oleh Kepala 32 Hal-hal yang mengenai pangkat, gaji dan tunjangan Hakim diatur dengan peraturan Pasal 31 Dengan diangkatnya dan diberhentikannya para Hakim oleh Kepala Negara, maka dijaminlah kebebasan Pasal 32 Agar para Hakim pengadilan tersebut dapat melakukan tugasnya dengan bebas dan baik, maka kepada mereka diberikan jaminan hidup yang sesuai dengan kedudukan dan tanggung-jawabnya. UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1970 Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1970 Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Sudah diamanatkan pengalihan badan-badan peradilan ke MA ***Pasal 11 1 Badan-badan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat 1, secara organisatori, administratif, dan finansial berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung. 2 Ketentuan mengenai organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam ayat 1 untuk masing-masing lingkungan peradilan diatur lebih lanjut dengan undang-undang sesuai dengan kekhususan lingkungan peradilan 11 A 1 Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat 1 dilaksanakan secara bertahap, paling lama 5 lima tahun sejak undang-undang ini mulai berlaku. 2 Pengalihan organisasi, administrasi, dan finansial bagi Peradilan Agama waktunya tidak ditentukan sebagaimana dimaksud dalam ayat 1. UU Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara, tetapi hakim disebut sebagai pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman. Sudah ada pengalihan badan-badan peradilan ke MAPasal 31 Hakim adalah pejabat yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam 43 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 1 a. semua pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Umum dan Peradilan Tata Usaha Negara Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, pengadilan tata usaha negara, dan pengadilan tinggi tata usaha negara, menjadi pegawai pada Mahkamah Agung;Pasal 44 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 2 a. semua pegawai Direktorat Pembinaan Peradilan Agama Departemen Agama menjadi pegawai Direktorat Jenderal Badan Peradilan Agama pada Mahkamah Agung, serta pegawai pengadilan agama dan pengadilan tinggi agama menjadi pegawai Mahkamah Agung;Pasal 45 Sejak dialihkannya organisasi, administrasi, dan finansial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat 3 a. pembinaan personel militer di lingkungan peradilan militer dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang mengatur personel militer; b. semua pegawai negeri sipil di lingkungan peradilan militer beralih menjadi pegawai negeri sipil pada Mahkamah Agung UU Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pertama kali di UU Kekuasaan Kehakiman menegaskan kedudukan hakim sebagai pejabat negaraPasal 19 Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam 31 1 Hakim pengadilan di bawah Mahkamah Agung merupakan pejabat negara yang melaksanakan kekuasaan kehakiman yang berada pada badan peradilan di bawah Mahkamah Kepegawaian dan Perubahannya UU Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Kepegawaian Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara. Pejabat negara hanya Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah AgungPasal 2 1 Pegawai Negeri terdiri dari a. Pegawai Negeri Sipil, dan b. Anggota Angkatan Bersenjata Republik Indonesia. 2 Pegawai Negeri Sipil terdiri dari a. Pegawai Negeri Sipil Pusat; b. Pegawai Negeri Sipil Daerah; dan c. Pegawai Negeri Sipil lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pasal 2 ayat 2 a. Yang dimaksud dengan Pegawai Negeri Sipil Pusat adalah salah satunya − Pegawai Negeri Sipil Pusat yang menyelenggarakan tugas Negara lainnya, seperti Hakim pada Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi dan 11 Yang dimaksud dengan Pejabat Negara ialah 4. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Mahkamah Agung; UU Tahun 1999 tentang Perubahan Atas UU Tahun 1974 Pertama kali di UU Kepegawaian, hakim disebut sebagai pejabat negara. Namun, dalam UU ini, ada pula penyebutan hakim sebagai "Pejabat Negara Tertentu".Pasal 11 1 Pejabat Negara terdiri atas d. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua dan Hakim pada semua Badan Peradilan; 2 Pegawai negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara diberhentikan dari jabatan organiknya selama menjadi Pejabat Negara tanpa kehilangan statusnya sebagai Pegawai Negeri. 3 Pegawai Negeri yang diangkat menjadi Pejabat Negara tertentu tidak perlu diberhentikan dari jabatan organiknyaPasal 1 7. Jabatan Organik adalah jabatan negeri yang menjadi tugas pokok pada suatu satuan organisasi Pasal 11 ayat 3 Yang dimaksud pejabat negara tertentu adalah Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda, dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung, serta Ketua, Wakil Ketua, dan hakim pada semua Badan Peradilan; Ketua, Wakil Ketua dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang berasal dari jabatan karir; Kepala Perwakilan Republik Indonesia di luar negeri yang berkedudukan sebagai duta besar luar biasa dan berkuasa penuh yang berasal dari diplomat karir, dan jabatan yang setingkat menteri. UU Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara ASN UU ASN ini mencabut UU Kepegawaian sebelumnya. Dalam UU ASN, hakim disebut sebagai pejabat negara, kecuali hakim ad hoc. Tidak ada lagi Penyebutan hakim sebagai Pejabat Negara Tertentu.Pasal 122 Pejabat negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 121 yaitu e. Ketua, wakil ketua, ketua muda dan hakim agung pada Mahkamah Agung serta ketua, wakil ketua, dan hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc;Empat UU Badan Peradilan UU Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Belum ada penyebutan hakim sebagai pejabat negara, tetapi hakim disebut sebagai pejabat yang melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilanPasal 1 4. Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, Hakim Militer Utama, yang selanjutnya disebut Hakim adalah pejabat yang masing-masing melaksanakan kekuasaan kehakiman pada pengadilan. Pasal 18, 19, 20 mengatur syarat prajurit untuk diangkat menjadi Hakim Militer, Hakim Militer Tinggi, dan Hakim Militer UtamaPasal 21 Hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pasal 19, dan Pasal 20 diangkat dan diberhentikan oleh Presiden selaku Kepala Negara atas usul Panglima berdasarkan persetujuan Ketua Mahkamah Agung. UU Tahun 2009 tentang Peradilan Umum UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2004 Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya disebut Pasal 12 1 Hakim Pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. Namun, dari UU Tahun 1986, UU Tahun 2004, hingga UU Tahun 2009 terlihat beberapa perubahan, antara lain - Syarat untuk menjadi hakim pengadilan negeri yang semula dalam UU Tahun 1986 harus pegawai negeri, dihapuskan. - Dalam Pasal 13 UU Tahun 1986 disebutkan Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim sebagai pegawai negeri dilakukan oleh Menteri Kehakiman. Pasal 13 ini diubah dalam UU Tahun 2004 menjadi 1 Pembinaan dan pengawasan umum terhadap Hakim dilakukan oleh Ketua Mahkamah Agung - Pasal 25 UU Tahun 1986 tidak detil mengatur hak-hak hakim. Namun, dalam UU Tahun 2009, bunyi Pasal 25 diubah menjadi 1 Kedudukan protokol hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan. 2 Selain mempunyai kedudukan protokoler, hakim pengadilan berhak memperoleh gaji pokok, tunjangan, biaya dinas, pensiun, dan hak-hak lainnya. 3 Tunjangan sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berupa a. tunjangan jabatan; dan b. tunjangan lain berdasarkan peraturan perundang-undangan. 4 Hak-hak lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat 2 berupa a. rumah jabatan milik negara; b. jaminan kesehatan; dan c. sarana transportasi milik negara. 5 Hakim pengadilan diberikan jaminan keamanan dalam melaksanakan tugasnya. 6 Ketentuan lebih lanjut mengenai gaji pokok, tunjangan, dan hak-hak lainnya beserta jaminan keamanan bagi ketua, wakil ketua, dan hakim pengadilan diatur dengan peraturan perundang-undangan. UU Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1986. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2004 Hampir serupa dengan UU Peradilan Umum. Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya menyebut, hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan kehakiman. UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama UU Tahun 2009 merupakan perubahan kedua atas UU Tahun 1989 tentang Peradilan Agama. Perubahan pertama melalui UU Tahun 2006 Hampir serupa dengan UU Peradilan Umum. Tidak secara spesifik menyebut hakim sebagai pejabat negara. Hanya menyebut, hakim pengadilan adalah pejabat yang melakukan tugas kekuasaan Penyelenggaraan Negara yang Bersih dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme UU Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan NepotismePasal 1 Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan 1. Penyelenggara Negara adalah Pejabat Negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang funsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang 2 Penyelenggara Negara meliputi 5. Hakim;Penjelasan Pasal 2 Angka 5 Yang dimaksud dengan “Hakim” dalam ketentuan ini meliputi Hakim di semua tingkatan PeradilanBeragam konsekuensi hakim sebagai pejabat negara Setelah mencermati perjalanan posisi hakim hingga berujung pada "penyematan" status pejabat negara, mari lebih jauh membahas konsekuensi kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Namun, pembahasan dikhususkan pada hakim-hakim yang berada di bawah MA, yakni pengadilan negeri dan pengadilan tinggi. Suhadi mengungkapkan, ada beberapa konsekuensi yang timbul dari kedudukan hakim sebagai pejabat negara. Konsekuensi itu, antara lain berkaitan dengan pola rekrutmen, pendidikan, karir, kepangkatan, periodesasi masa jabatan, serta pemenuhan hak dan fasilitas hakim sebagai pejabat negara. Baca Juga Begini Konsekuensi Logis Status Hakim Pejabat Negara Lebih lanjut, Suhadi menjelaskan, pada umumnya, pejabat negara memiliki periodesasi masa jabatan, misalnya lima tahun dan dapat dipilih lagi untuk satu periode. Periodesasi masa jabatan semacam ini tidak dapat diterapkan kepada hakim? Sebab, jabatan hakim tidak mengenal periodesasi, melainkan karir dan pensiun. Selain itu, pejabat negara juga tidak mengenal kepangkatan. Namun, layaknya PNS, hakim memiliki kepangkatan atau golongan. Bahkan, kepangkatan hakim mengikuti kepangkatan PNS. Begitu pula dengan struktur gaji. Pasal 3 ayat 2 Peraturan Pemerintah PP Tahun 2012 tentang Hak Keuangan dan Fasilitas Hakim yang Berada di Bawah Mahkamah Agung menyebutkan, ketentuan dan besaran gaji pokok hakim sama dengan PNS. Dari sisi rekrutmen dan pendidikan calon hakim, konsekuensinya menjadi lebih rumit. Lazimnya, pejabat negara dipilih melalui proses seleksi lembaga lain, pemilihan umum, atau penunjukan. Faktanya, selama ini, pola rekrutmen hakim hampir serupa PNS, meski memiliki tata cara tersendiri, yakni melalui proses seleksi CPNS dan pendidikan calon hakim. Sebagai panduan, Ketua MA kala itu, Harifin A Tumpa mengeluarkan Surat Keputusan Ketua MA Nomor 169/KMA/SK/X/2010 tentang Penetapan dan Pelaksanaan Program Pendidikan dan Pelatihan Calon Hakim Terpadu. Kurikulum ditetapkan terdiri dari kurikulum pendidikan dan latihan pada Badan Penelitian dan Pengembangan dan Pendidikan dan Pelatihan Hukum dan Peradilan Balitbang Diklat Kumdil MA, serta panduan magang pada pengadilan tingkat pertama. Dengan tahapan sebagai berikut No Kegiatan Minggu 1 Diklat I 2 Minggu 2 Magang I sebagai administrator 22 Minggu 3 Diklat II 13 Minggu 4 Magang II sebagai panitera pengganti 26 Minggu 5 Diklat III 13 Minggu 6 Magang III sebagai asisten hakim 30 Minggu Total 106 Minggu 2 tahun lebih Setelah lulus pendidikan hakim selama dua tahun lebih, para calon hakim tersebut baru dapat diangkat menjadi hakim ketika diusulkan oleh Ketua MA kepada Presiden. Sayang, pasca penetapan status hakim sebagai pejabat negara, terjadi kekosongan hukum mengenai tata cara rekrutmen hakim selaku pejabat negara. Menurut Suhadi, para calon hakim yang mengikuti rekrutmen hingga pengusulan oleh Ketua MA ke Presiden tidak memiliki status. Berbeda dengan pejabat negara pada umumnya, begitu dilantik langsung berstatus sebagai pejabat negara. "Tidak ada istilah calon pejabat negara, 2,5 tahun ikut pendidikan dan pelatihan. Tidak ada aturanya," ucapnya. Sebenarnya, sesuai amanat UU Peradilan Umum, UU Peradilan Agama, dan UU Tata Usaha Negara Tahun 2009, pendidikan hakim diselenggarakan bersama oleh MA dan Perguruan Tinggi Negeri atau swasta yang terakreditasi A. Dahulu, ketiga UU ini juga mengatur proses seleksi pengangkatan hakim dilakukan MA bersama Komisi Yudisial KY. Bahkan, MA dan KY sempat menandatangani Peraturan Bersama dan tentang Seleksi Pengangkatan Hakim. Belakangan IKAHI “protes” dengan melakukan uji materi, sehingga Mahkamah Konstitusi MK melalui putusannya Nomor 43/PUU-XIII/2015 menyatakan ketentuan mengenai keterlibatan KY inkonstitusional. Alhasil, proses seleksi pengangkatan hakim dikembalikan sepenuhnya kepada MA. MA pun menerbitkan Peraturan MA PERMA Tahun 2016 tentang Penyusunan dan Penetapan Kebutuhan serta Pengadaan Tenaga Hakim. Mengutip Laporan Tahunan MA 2016, MA juga sempat mengusulkan formasi hakim kepada Presiden, tetapi belum dipenuhi pemerintah. Hal inilah yang mengakibatkan tidak ada perekrutan hakim sampai sekarang. Demi mencari solusi, MA sempat mempertimbangkan perekrutan hakim melalui jalur CPNS, tetapi urung dilakukan. Mengingat kebutuhan hakim yang sangat mendesak, Pengurus Pusat IKAHI menyambangi Presiden Joko Widodo di Istana pada Maret lalu. Pertemuan itu membawa angin "segar". Presiden mempersilakan MA melakukan pengadaan hakim. Sebagai tindak lanjut, pada 31 Maret 2017, Ketua MA M Hatta Ali menandatangani PERMA Tahun 2017 tentang Pengadaan Hakim. PERMA ini mengatur perekrutan hakim melalui jalur CPNS. Baca Juga MA PERMA Pengadaan Hakim Solusi Atasi Krisis Hakim PERMA Tahun 2017 Pasal 2 1 Mahkamah Agung melaksanakan pengadaan hakim 2 Pengadaan hakim sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dilaksanakan setelah mendapatkan penetapan kebutuhan Calon Pegawai Negeri Sipil oleh Menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintah di bidang pendayagunaan aparatur negara Pasal 3 Pengadaan hakim sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dilakukan melalui tahapan a. Perencanaan; b. Pengumuman pengadaan hakim; c. Pelamaran; d. Pelaksaan seleksi; e. Pengumuman hasil seleksi; f. Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/Calon Hakim; g. Pengangkatan sebagai Calon Pegawai Negeri Sipil/Calon Hakim; h. Pendidikan calon hakim; dan i. Pengangkatan sebagai hakim Lantas, jika kembali menggunakan pola rekrutmen CPNS, apa kabar status hakim sebagai pejabat negara? Dan, apakah MA telah mendapat respon baik dari MenPAN-RB? Suhadi menceritakan, ketika konsultasi dengan sejumlah Kementerian menemui jalan buntu, MA mencoba berkonsultasi dengan Sekretariat Negara Setneg. "Waktu itu coba merapat ke Setneg, bagaimana jalan keluarnya. Setneg ke Presiden, ditugaskan lagi MenPAN-RB untuk mencari jalan keluarnya. Menteri yang baru ini terbuka untuk melalui jalur pegawai negeri lagi. Tapi Saya belum tahu bagaimana finalisasinya, karena tempo hari saya tanya, sedang ada konsultasi antara MenPAN-RB dengan Kemenkeu terkait anggaran," terangnya. Sementara, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan PPP Arsul Sani menyatakan, sejauh ini, peraturan perundang-undangan tidak secara spesifik dan seragam mengatur apa konsekuensi jika seseorang memegang sebuah jabatan atau fungsi penyelenggaraan negara dengan status atau sebutan "pejabat negara". Karena itu, sambung Arsul, konsekuensinya mengikuti peraturan perundang-undangan masing-masing pejabat negara. Bisa jadi, konsekuensi pejabat negara yang satu berbeda dengan yang lain. Contoh konkrit, meski anggota DPR, Badan Pemeriksa Keuangan BPK, dan KPK sama-sama berstatus pejabat negara, konsekuensi jabatan mereka berbeda. "Jadi, konsekuensi bagi hakim selaku pejabat negara akan bergantung pada UU Jabatan Hakim yang akan disahkan nantinya, serta peraturan perundang-undangan turunannya," ujarnya kepada hukumonline, Jumat 2/6/2017. Arsul menambahkan, mengenai persoalan struktur penggajian, kepangkatan, dan rekrutmen hakim yang masih mengikuti pola PNS, sudah seharusnya dibenahi lewat UU Jabatan Hakim. Selebihnya harus dijabarkan lagi dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, termasuk jika perlu me-review kembali PP Tahun vs pemenuhan hak dan fasilitas hakim Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan I, Direktorat Jenderal Perundang-Undangan, Kementerian Hukum dan HAM, Karjono mengatakan, konsekuensi lain dari status hakim sebagai pejabat negara adalah mendapatkan hak keuangan, serta sejumlah fasilitas pejabat negara, seperti perumahan dan pengawalan. Berdasarkan ketentuan PP Tahun 2012, hak keuangan dan fasilitas hakim terdiri dari, gaji pokok, tunjangan jabatan, rumah negara, fasilitas transportasi, jaminan kesehatan, jaminan keamanan, biaya perjalanan dinas, kedudukan protokol, penghasilan pensiun, serta tunjangan lain berupa, tunjangan keluarga, beras, dan tunjangan kemahalan. Apa yang ada diatas "kertas" tak berbanding lurus dengan realita. Karjono tidak menampik jika fasilitas belum memadai. Namun, ia berpendapat, masing-masing pejabat negara memiliki karakter berbeda-beda. Terlebih lagi, karakter pejabat negara pada profesi hakim sedikit berbeda, karena pada umumnya pejabat negara berjumlah sedikit dan berada di pusat. "Kalau hakim itu sebagai pejabat negara secara keseluruhan, apakah nanti iya, yang di pengadilan, pengadilan tinggi, MA? Makanya, kemarin itu, saat pembahasan draf RUU Jabatan Hakim hakim sebagai pejabat negara, ditawarkan solusi. Sebab, saat hakim berstatus pejabat negara, perlakuannya juga pejabat negara," tuturnya kepada hukumoline di kantornya di Gedung Ditjen PP, Selasa 30/5. Menurut Karjono, salah satu kendala pemenuhan fasilitas hakim adalah anggaran. Maka, menjadi suatu yang wajar bila pemberian fasilitas atau tunjangan pengganti fasilitas disesuaikan dengan kemampuan negara. Tengok saja ketentuan yang tercantum pada Pasal 5 ayat 2 PP Tahun 2012. Pasal 5 ayat 2 menyebutkan, "Dalam hal rumah negara dan/atau sarana transportasi belum tersedia, Hakim dapat diberikan tunjangan perumahan dan transportasi sesuai dengan kemampuan keuangan negara yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan". "Kenapa 'dapat', itu pasti terkait dengan anggaran. Dan, itu teman-teman dari Kemenkeu pasti selalu menjaga gawang itu. Artinya, kalau dia ada perumahan ya dia dapat perumahan, kalau dia tidak dapat perumahan, 'dapat' diganti dengan uang sewa, dan lain-lain. Tapi, teman-teman dari Kemenkeu biasanya, 'sepanjang keuangan negaranya itu ter-cover," kata Karjono. Untuk diketahui, kata "dapat" dalam Pasal 5 ayat 2 PP Tahun 2012 pernah diuji materi oleh Forum Diskusi Hakim Indonesia FDHI ke MA. Akan tetapi, MA melalui putusan P/HUM/2015 tanggal 29 Desember 2015 menolak dalil permohonan FDHI karena objek permohonan dianggap tidak bertentangan dengan UU. Baca Juga MA Tolak Uji Materi PP Gaji Hakim Karjono berpendapat, sebenarnya justru perumahan hakim lebih baik dibandingkan petugas pemasyarakatan, meski keduanya sama-sama aparat Sistem Peradilan Pidana Terpadu Integrated Criminal Justice System. Jadi, istilahnya, jika fasilitas perumahan hakim cukup tersentuh dengan baik, aparat pemasyarakatan masih jauh dari harapan. Kemudian, mengenai adanya pendapat yang menyatakan pemerintah dapat menggelontorkan anggaran tanpa perlu menerbitkan PP atau Peraturan Presiden Perpres, tetapi cukup misalnya dengan PERMA, Karjono menilai itu tidak akan berjalan. "Karena apa? Kalau tidak ada Perpres, tidak ada PP, sepanjang itu kelembagaan, tidak bisa dibayar nanti," imbuhnya. Terlepas dari problematika pemenuhan hak dan fasilitas hakim, Karjono menyarankan agar PP Tahun 2012 direvisi. PP itu dibuat tahun 2012, sehingga sudah sepatutnya nominal yang ada di PP disesuaikan dengan kondisi sekarang. Tentu, penentuan hak keuangan menjadi ranah dua kementerian, yaitu KemenPAN-RB dan Kemenkeu. Senada, Arsul mengakui bila negara belum memenuhi kewajibannya dengan memberikan seluruh hak-hak para hakim sebagaimana diatur dalam PP Tahun 2012. Penjelasan pemerintah kepada Komisi III DPR, kendala utama pemenuhan hak-hak tersebut tak lain karena keterbatasan kemampuan fiskal. "Namun, ini tidak berarti tidak ada perbaikan lho. Dibanding masa lima tahun lalu dan sebelumnya, maka perbaikan gaji dan tunjangan hakim lumayan signifikan. Yang belum banyak tersentuh adalah soal fasilitas, seperti rumah dinas, dan lain-lain itu," ujarnya, Sementara, Arsul menerangkan, Komisi III di satu sisi terus meminta Menteri Keuangan memperhatikan pemenuhan kewajiban hak dan fasilitas hakim. Di sisi lain, Komisi III juga meminta agar MA mengalokasikan anggaran dengan lebih baik lagi. Misalnya, dengan mengurangi alokasi belanja yang bertitik berat pada pemenuhan fasilitas di MA saja. Suhadi mengamini jika fasilitas bagi hakim belum terpenuhi seluruhnya. Sebagai contoh, hakim-hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang jumlahnya mencapai 50 orang, belum tentu semuanya mendapatkan rumah dinas. Bagi mereka yang tidak mendapat rumah dinas, akan mengontrak rumah/kost. Itu pun tidak ada penggantian tunjangan perumahan, tetapi dibiayai sendiri dari gaji mereka. Hal ini juga terjadi di daerah. Untuk alokasi anggaran pembangunan fasilitas bagi hakim, menurut Suhadi belum menjadi fokus. Sebab, 80 persen anggaran sudah habis untuk belanja pegawai, sedangkan sisanya 20 persen untuk belanja barang dan modal. Kualifikasi biaya modal sendiri, antara lain dapat berwujud bangunan dan kendaraan. Dengan demikian, pemenuhan fasilitas rumah negara bagi hakim dirasa belum memadai. Apabila mengacu Laporan Tahunan MA 2016, sampai dengan tahun 2015, rumah negara yang dimiliki oleh MA sebanyak unit, sedangkan tahun 2016 tidak ada penambahan. Kondisinya, unit baik, 492 unit rusak ringan, dan 175 unit rusak berat. Untuk itu, masih dibutuhkan anggaran pembangunan, rehabilitasi dan renovasi rumah negara. Perbandingan Renovasi dan Rehabilitasi Rumah Negara Tahun Anggaran TA 2014 sampai dengan TA 2016 No Peradilan 2014 2015 2016 1 Umum 1 3 - 2 Agama - 2 - 3 TUN 2 - - 4 Militer - 1 - Jumlah 3 6 -

PengadilanTUN Jakarta, Hakim Pengadilan Tinggi TUN Jakarta, Hakim Mahkamah Agung, Pejabat Kementerian Lingkungan Hidup, dan WALHI. Ada dua hal yang akan diteliti dalam penelitian ini, yaitu variabel yang bersifat bebas dan variabel yang bersifat tergantung. Variabel yang bersifat bebas adalah fungsi Peradilan Tata Usaha Negara, BerandaKlinikPertanahan & PropertiPerkara Pertanahan, ...Pertanahan & PropertiPerkara Pertanahan, ...Pertanahan & PropertiJumat, 30 April 2021Jika ada sengketa terkait pertanahan, peradilan manakah yang berwenang mengadili? Pengadilan Negeri atau Tata Usaha Negara?Dalam perkara pertanahan ada 2 kewenangan berlainan yang harus diperhatikan. Secara singkat, Peradilan Tata Usaha Negara “PTUN” berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah. Sedangkan peradilan umum berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas tanah itu sendiri. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini. Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Pertanahan “Permen ATR/Kepala BPN 21/2020” membedakan kasus pertanahan menjadiSengketa pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan, badan hukum, atau lembaga yang tidak berdampak luas.[1]Konflik pertanahan, yakni perselisihan tanah antara orang perseorangan, kelompok, golongan, organisasi, badan hukum, atau lembaga yang mempunyai kecenderungan atau sudah berdampak luas.[2]Perkara pertanahan, yakni perselisihan tanah yang penanganan dan penyelesaiannya melalui lembaga peradilan.[3]Berdasarkan ketentuan tersebut, kami asumsikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah perkara pertanahan, bukan sengketa pertanahan mengingat penyelesaian perkara pertanahan dilakukan melalui lembaga terjadi perkara pertanahan, peradilan manakah yang berwenang mengadili? Untuk menjawabnya, mari kita bahas satu per satuPeradilan Tata Usaha Negara “PTUN”PTUN adalah salah satu pelaku kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan terhadap sengketa Tata Usaha Negara “TUN”.[4]Indroharto dalam bukunya Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara Edisi Revisi menjelaskan yang dapat digugat ke peradilan TUN hanyalah keputusan TUN, yakni suatu penetapan tertulis beschikking yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat TUN yang berisi tindakan hukum TUN yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkret, individual, dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang/badan hukum perdata hal ini, yang dimaksud dengan badan/pejabat TUN yaitu badan atau pejabat yang melaksanakan urusan pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]Jika dikaitkan dengan persoalan pertanahan, pada dasarnya sertifikat tanah atau dokumen bukti hak atas tanah yang dalam hal ini diterbitkan oleh badan atau pejabat dapat dikategorikan sebagai keputusan ini mengingat bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah “PP 24/1997” mengatur Badan Pertanahan Nasional “BPN” berwenang melakukan pendaftaran tanah, yang diantaranya meliputi pemberian sertifikat hak atas tanah kepada pemegang hak yang bersangkutan, serta hak-hak tertentu yang membebaninya.[6] Hal tersebut merupakan perwujudan salah satu fungsi BPN, yaitu perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang penetapan hak dan pendaftaran tanah.[7]Dengan demikian, seseorang yang merasa kepentingannya dirugikan akibat dikeluarkannya keputusan TUN yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam hal ini misalnya penerbitan sertifikat hak atas tanah oleh BPN, dapat mengajukan gugatan ke UmumKekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilaksanakan oleh Pengadilan Negeri yang merupakan pengadilan tingkat pertama dan Pengadilan Tinggi yang merupakan pengadilan tingkat banding, dan berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai pengadilan negara tertinggi.[8]Secara umum, peradilan umum berwenang menangani perkara pidana dan dari Perbedaan Pokok Hukum Pidana dan Hukum Perdata, perkara perdata bersifat privat, yang menitikberatkan kepada kepentingan perseorangan, hanya berdampak langsung bagi para pihak yang terlibat dan tidak berakibat secara langsung pada kepentingan dikaitkan dengan perkara pertanahan, seseorang yang merasa kepentingannya dilanggar, dalam hal kepemilikan hak atas tanah, dapat mengajukan gugatan ke pengadilan KasusSebagai contoh, kita dapat melihat Putusan Mahkamah Agung Nomor 976 K/PDT/2015 yang menjadi sumber yurisprudensi Mahkamah Agung Nomor 5/Yur/Pdt/ ringkas Penggugat, berdasarkan Akta Jual Beli Nomor 158/2006, membeli sebidang tanah dan bangunan dari Turut Tergugat I yang telah bersertifikat Hak Guna Bangunan Nomor 46 tertanggal 11 Februari 1993 yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional Kota Bandung dengan masa berlaku haknya sampai 21 Juli 2013. Setelah dibeli, sertifikat tersebut kemudian dibalik tahun kemudian, saat Penggugat hendak menyewakan tanahnya kepada pihak lain, Penggugat didatangi oleh Tergugat I dengan membawa surat yang pada pokoknya menyebutkan bahwa tanah dan bangunan yang dibeli Penggugat tersebut adalah aset TNI AD KODAM sesuai sertifikat Hak Pakai Nomor 18 tanggal 28 Agustus 1998 dan memerintahkan Penggugat untuk mengosongkan tanah dan bangunan Mahkamah Agung kemudian berpendapat, jika terdapat sertifikat ganda atas tanah yang sama, dimana keduanya sama-sama otentik maka bukti hak yang paling kuat adalah sertifikat hak yang terbit lebih dahulu. Oleh karena itu, hakim kemudian menyatakan Tergugat I dan Tergugat II telah melakukan perbuatan melawan hukum “PMH” dan menyatakan Penggugat sebagai pemilik yang sah atas tanah menjawab pertanyaan Anda, Peradilan TUN berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kewenangan, prosedur, dan substansi dalam penerbitan surat pemberian hak atas tanah dan/atau sertifikat hak atas tanah. Sedangkan peradilan umum berwenang menangani perkara yang berkaitan dengan kepemilikan hak atas informasi hukum yang ada di Klinik disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya. Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra jawaban dari kami, semoga HukumUndang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum dan diubah kedua kalinya oleh Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah;Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2020 tentang Badan Pertanahan Nasional;Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 21 Tahun 2020 tentang Penanganan dan Penyelesaian Kasus Usaha Memahami Undang-Undang Tentang Peradilan Tata Usaha Negara Buku I Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara Edisi Revisi. Jakarta Pustaka Sinar Harapan, Mahkamah Agung Nomor 976 K/PDT/2015.[1] Pasal 1 angka 2 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[2] Pasal 1 angka 3 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[3] Pasal 1 angka 4 Permen ATR/Kepala BPN 21/2020[6] Pasal 1 angka 1, Pasal 4 ayat 1, dan Pasal 5 PP 24/1997Tags kfvQ.
  • 3809x2v77o.pages.dev/343
  • 3809x2v77o.pages.dev/23
  • 3809x2v77o.pages.dev/450
  • 3809x2v77o.pages.dev/87
  • 3809x2v77o.pages.dev/417
  • 3809x2v77o.pages.dev/422
  • 3809x2v77o.pages.dev/427
  • 3809x2v77o.pages.dev/181
  • hakim pengadilan tata usaha negara